Kematian Solusi Dua Negara
SOLUSI
dua negara telah lama dianggap “obat mujarab” bagi problem Palestina. Solusi
ini memiliki visi bahwa akan didirikan dua negara independen -- negara Yahudi
dan negara Arab -- yang membelah Tanah Historis Palestina.
Namun,
setelah lebih daripada tujuh dekade, hanya ada satu negara yang berdiri: Israel
yang mengklaim sebagai negara Yahudi. Satu bakal negara lain dalam periode yang
sama hanya menjadi wilayah pendudukan militer. Bahkan, wilayah bakal negara itu
sekerat demi sekerat terus dirampas Israel.
Amerika
Serikat, sang makelar "proses perdamaian" kian kehilangan
kredibilitas. Klaim sepihak Amerika bahwa Yerusalam adalah ibukota Israel telah
mematikan solusi dua negara karena Yerusalam merupakan satu poin penting dalam
negosiasi solusi tersebut.
Lantas,
apakah solusi dua negara masih memungkinkan?
Aneksasi
Tepi Barat melalui pembangunan permukiman ilegal bagi imigran Yahudi dan
blokade Israel atas Jalur Gaza menunjukkan sebuah realitas yang sangat jauh
dari retorika solusi dua negara. Menurut duet profesor politik Amerika, Flynt
dan Hillary Mann Leverett, fakta di lapangan itu sudah mulai mengubah haluan
pandangan banyak orang dari solusi dua negara menjadi satu negara.
Sejak
awal, solusi dua negara sebenarnya sudah bisa dikatakan tak memiliki pijakan
moral yang valid. Membelah Palestina berdasarkan preferensi rasial (negara
Yahudi dan Arab), seperti yang dilakukan PBB dengan Resolusi 181, adalah
keputusan politik rasis.
Menurut
Ali Abunimah, aktivis Palestina dan pendiri Electronic Intifada, solusi dua
negara tak lain adalah sistem apartheid yang pernah diterapkan di Afrika
Selatan. Solusi itu menciptakan negara yang homogen secara etnis bagi pewaris
kolonialisme Barat (baca: Israel) di satu sisi dan bagi korbannya (baca: rakyat
Palestina) di sisi lain.
Secara
politik, Israel tak lagi bisa mengaku sebagai negara demokrasi sementara pada
saat yang sama menyatakan sebagai negara Yahudi. Sejarawan Israel Shlomo Sand
menyatakan, Israel memang negara liberal tapi bukan negara demokrasi karena
Israel menyatakan dirinya hanya milik warga Yahudi dan bukan milik semua
warganya.
Penduduk
non-Yahudi Arab di Israel diperlakukan sebagai warga kelas dua. Sejak 1948,
Israel terus membangun permukiman untuk Yahudi dan mengabaikan kampung-kampung
Arab.
Data
demografi menunjukkan bahwa jumlah populasi non-Yahudi di Israel dan Wilayah
Pendudukan telah melampaui jumlah populasi Yahudi. Karena itu, menurut Flynt
dan Hillary, apa yang disebut sebagai Israel sekarang ini tak lain adalah rezim
minoritas yang menindas warga mayoritas.


Comments
Post a Comment